Imam
Musa Al Kadzim as
Nama
: Musa
Gelar
: Al-Kadzim
Julukan
: Abu Hasan Al-Tsani
Ayah
: Ja’far Shodiq
Ibu
: Hamidah AL-Andalusia
Tempat/Tgl
Lahir : Abwa’ Malam Ahad 7 Shofar 128 H.
Hari/Tgl
Wafat : Jum’at 25 Rajab 183 H.
Umur
: 55 Tahun
Sebab
Kematian : Diracun Harun Ar-Rasyid
Makam
: Al-Kadzimiah
Riwayat
Hidup
Untuk
yang kesekian kalinya keluarga Rasulullah dibahagiakan atas kelahiran seorang
manusia suci, pilihan Allah demi kelestarian hujjahnya yaitu Musa bin Ja’far.
Beliau dilahirkan pada hari Ahad 7 Shafar 128 H di kota Abwa’ antara Makkah dan
Madinah.
Ayahnya
begitu gembira dengan kelahiran putranya ini hingga beliau berucap: “Aku
berharap tidak memperoleh putra lain selain dia sehingga tidak ada yang membagi
cintaku padanya”. Ayahnya, Imam Ja’far As-Shadiq, telah mengetahui bahwa bayi
tersebut akan menjadi orang besar dan mempunyai kedudukan yang mulia yaitu
sebagai calon Imam, pemimpin spiritual yang akan menjadi penerus Ahlul Bait
dalam berhidmat untuk risalah Allah SWT yang dipercayakan kepada kakeknya
Muhammad saww. Beliau dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Hamidah, seorang
wanita berkebangsaan Andalusia (Spanyol). Sejak masa kecilnya beliau telah
menunjukkan sifat kepandaiannya. Pada suatu saat Abu Hanifah datang ke kediaman
Imam Ja’far As-Shadiq untuk menanyakan suatu masalah. Pada waktu itu Imam
Ja’far As-Shadiq a.s. sedang istirahat lalu Abu Hanifah bertanya kepada
anaknya, Musa Al-Kadzim yang pada waktu itu berumur 5 tahun. Setelah
mengucapkan salam beliau bertanya:
Bagaimana
pendapat Anda tentang perbuatan-perbuatan seorang manusia? Apakah dia melakukan
sendiri atau Allah yang mejadikan dia berbuat seperti itu? “Wahai Abu Hanifah!
Imam berusia 5 tahun tersebut menjawab dengan gaya seperti para leluhurnya,:
“perbuatan-perbuatan seorang manusia dilahirkan atas tiga kemungkinan.
Pertama,
Allah sendiri yang melakukan sementara manusia benar-benar takberdaya. Kedua,
Allah dan manusia sama-sama berperan atas perbuatan-perbuatan tersebut. Ketiga,
manusia sendiri yang melakukannya. Maka, jika asumsi pertama yang benar dengan
jelas membuktikan ketidakadilan Allah yang menghukum makhIuk-Nya atas dosa-dosa
yang mereka tidak lakukan. Dan jika kondisi yang kedua diterima, maka Allahpun
tidak adil kalau Dia menghukum manusia atas kesalahan-kesalahan yang di
dalamnya Allah sendiri bertindak sebagai sekutu. Tinggal alternatif yang
ketiga, yakni bahwa manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas
perbuatan-perbuatan mereka sendiri”. Mengenai situasi politik di zaman beliau
hampir sama dengan zaman sebelumnya. Beliau hidup dalam zaman yang paling
kritis di bawah raja-raja zalim dari Bani Abbas. Beliau hidup di zaman
Al-Manshur, Al-Mahdi, Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid. Di masa Imam Musa masih
berusia 5 tahun. Telah terjadi sebuah peristiwa besar yaitu runtuhnya Dinasti
Umayyah dan bangkitnya Dinasti Abbasyiah. Bani Abbasiyah juga tidak kalah dalam
perbuatan jahatnya. Kedudukan jadi rebutan di saat itu, sementara istana
dipenuhi dengan gundik-gundik dan harta. Tari-tarian serta lagu dan syair
menjadi hiasan istana Bani Abbasyiah, kejahatan mereka merajalela dan dekadensi
moral hampir merata dimana-mana. Nasib keluarga Imam Musa a.s. (Al-Alawiyin)
teraniaya di zaman ini.
Di
zaman Al-Manshur mereka dipenjarakan tanpa diberi makan, sebagian lagi diusir
dari rumah-rumahnya dan yang lain dibunuh. Penguburan hidup-hidup bukan
merupakan pemandangan yang baru lagi di zaman ini. Kebiadaban Al-Manshur tidak
berlangsung lama pada tanggal 3 Dzulhijjah158 H, dia mati lalu digantikan oleh
anaknya Al-Mahdi. Al-Mahdi memerintah sejak 3 Dzulhijjah 158-22 Muharam 169. Di
masa pemerintahannya, Imam Musa pernah dipenjarakan di Baghdad yang kemudian
dibebaskan lagi. Walau penekanan dan kejahatan tidak dapat dielakkan lagi,
namun penderilaan Ahlul Bait tidaklah separah di zaman Al-Manshur. Setelah
beberapa tahun, Al-Mahdi juga meninggal dunia dan sejak 22 Muharram 169 H,
anaknya, Al-Hadi, menggantikan posisi ayahnya sebagai raja Bani Abbas. Dia
terkenal kejam dan bengis sekali. Pada masa pemerintahan-nya terjadi sebuah
pemberontakan yang bernama “Fakh”, yang dipimpin Al-Husein bin Ali bin Al-Hasan
bin Al-Husein bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan Fakh yang
dipimpin oleh Husein bin Ali sama seperti kejadian “Karbala”. Keluarga Bani
Hasyim disertai beberapa pengikutnya yang kescluruhannya berjumlah 200 orang
dipaksa menghadapi musuh yang berjumlah beberapa kali lipat. Peperangan itu
tidak berlangsung lama pasukan Bani Hasyim yang dipimpin Al-Husein bin Alibin
Hasan akhirnya kalah dan porak poranda, kemudian mereka semua dipenggal dan
anggota tubuhnya dipisah-pisah. Tidak cukup sampai di sini rumah-rumah mereka
dibakar dan pasukan al-Hadi kemudian merampas harta dari keluarga para syuhada’
yang syahid dalam membela kebenaran. Pemerintahan al-Hadi hanya berlangsung 1
tahun dan pada tahun 170 H, Harun Al-Rasyid naik tahta dan menjadi penguasa
dari Bani Abbas.
Kebijaksanaan
politik Harun al-Rasyid tidak berbeda dengan zaman al-Hadi. Dia tidak
segan-segan membunuh puluhan orang hanya karena adanya suatu fitnahan. Sehingga
dia diberi julukan “pedangnya lebih cepat dan pembicaraannya”. Kami akan
memberi sebuah contoh dan kejahatannya, yaitu di suatu waktu dia memanggil
Humaid bin Qahtbabah dan menanyainya tentang ketaatannya kepada Amirul
Mukminin. Humaid menyatakan kesiapannya melaksanakan segala yang diperintahkan
kepadanya. Ketika Harun Al-Rasyid merasa yakin akan loyalitasnya terhadap
istana Abbasiyah dan kesanggupannya untuk melaksanakan perintah, maka al-Rasyid
menyuruh seseorang khadam (pembantu) mengambilkan sebilah pedang, lalu menyuruh
Humaid pergi ke sebuah rumah yang terkunci yang di tengah-tengahnya terdapat
sebuah sumur. Di rumah itu terdapat tiga kamar yang seluruhnya terkunci. Ketika
khadam tersebut mengantarkannya masuk ke rumah itu, dia membuka salah satu
pintu kamar yang terkunci itu dan ternyata di dalamnya terdapat dua puluh orang
alawiyin dan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saww.
Mereka terdiri dari anak-anak remaja dan orang-orang tua dengan kaki dan tangan
terikat rantai. Sang khadam menyuruh Humaid untuk membunuh orang-orang itu dan
memasukkan jasad mereka ke dalam sumur. Humaid pun melaksanakan perintah
tersebut dengan baik. Kemudian pintu kedua dibuka dan di situ ditemukan pula
tawanan sejumlah itu. Kembali khadam itu menyuruh Humaid membunuh mereka dan
memasukkan jasad-jasad mereka ke dalam sumur, dan Humaid pun melaksanakan
perintah tersebut. Pintu ketiga dibuka pula dan di situ terdapat sejumlah itu.
Lagi-lagi khadam itu menyuruh melakukan hal sama, dan Humaid pun menaatinya.
Kisah
memilukan ini sebenarnya tertutup rapat-rapat dalam laci para pelakunya. Namun
Humaid bin Qahthabah membukanya ketika dia merasa bahwa dirinya telah melakukan
kejahatan besar telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan sehingga pesimis untuk
mendapat rahmat Allah SWT. Dalam situasi yang mencekik seperti inilah imam
hidup dan berdakwah kepada rakyat di sekitarnya
Melihat
pengaruh besar beliau di tengah-tengah pendukungnya, Harun al-Rasyid merasa
cemas dan kemudian memenjarakan beliau tanpa alasan dan bukti apapun. Di dalam
penjara inilah waktunya dihabiskan untuk beribadah dan berdakwah di sana. Suatu
ketika Harun al-Rasyid memerintah pengawalnya untuk memasukkan jariah yang
cantik ke dalam sel Imam, guna merayu dan menjatuhkan martabatnya. Selang
beberapa waktu ternyata Jariah yang cantik itu telah sujud bersama imam serta
diriwayatkan bahwa hingga akhir hayatnya jariah tersebut menjadi wanita yang
shalehah. Segara cara telah ditempuh, namun imam tetap pada posisinya yang
mulia.
Akhirnya,
Harun Al-Rasyid tidak punya pilihan lain kecuali membunuhnya. Sanadi bin Sahik
yang terkenal bengis dan ingin mendapatkan kedudukan di sisi penguasa Bani
Abbas segera menawarkan diri untuk menjadi pelaksana rencana pembunuhan
tersebut. Dia kemudian meletakkan racun yang mematikan dalam makanan Imam Musa
Al-Kazim. Tak pelak lagi, racun tersebut menjalar ke seluruh tubuh imam, dan
imam pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Jenazahnya
dibiarkan tergeletak dipenjara selama tiga hari yang kemudian dibuang di
jembatan al-Karkh, di kota Baghdad. Mendengar berita tentang jenazah imam yang
diletakkan di jembatan dan dijadikan bahan olokan oleh pengawal Sanadi bin
Sahik, Sulaiman bin Ja’far Al-Manshur kemudian mengambil jenazah tersebut lalu
memandikan, mengkafaninya dan melumuri wewangian serta menshalati dan
menguburkannya.
Belum
pernah ada di Baghdad seseorang yang dikubur yang di hadiri oleh lautan manusia
seperti halnya ketika penguburan imam di pemakaman Quraiys. Bintang Ahlu Bait
telah pergi untuk selamanya. Kota Baghdad seakan gelap dan gulita, sementara
Mûsa bin Ja’far telah pergi dalam keadaan mulia dan terpuji.
Salam
sejahtera untukmu di saat kau dilahirkan dan salam untukmu di saat kau dalam
kegelapan penjara serta salam sejahtera bagimu saat kau dibangkitkan kelak
sebagai orang yang syahid.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan