Selasa, 15 April 2014

Imam Musa Al Kadzim as

Imam Musa Al Kadzim as
Nama : Musa
Gelar : Al-Kadzim
Julukan : Abu Hasan Al-Tsani
Ayah : Ja’far Shodiq
Ibu : Hamidah AL-Andalusia
Tempat/Tgl Lahir : Abwa’ Malam Ahad 7 Shofar 128 H.
Hari/Tgl Wafat : Jum’at 25 Rajab 183 H.
Umur : 55 Tahun
Sebab Kematian : Diracun Harun Ar-Rasyid
Makam : Al-Kadzimiah

Riwayat Hidup

Untuk yang kesekian kalinya keluarga Rasulullah dibahagiakan atas kelahiran seorang manusia suci, pilihan Allah demi kelestarian hujjahnya yaitu Musa bin Ja’far. Beliau dilahirkan pada hari Ahad 7 Shafar 128 H di kota Abwa’ antara Makkah dan Madinah.

Ayahnya begitu gembira dengan kelahiran putranya ini hingga beliau berucap: “Aku berharap tidak memperoleh putra lain selain dia sehingga tidak ada yang membagi cintaku padanya”. Ayahnya, Imam Ja’far As-Shadiq, telah mengetahui bahwa bayi tersebut akan menjadi orang besar dan mempunyai kedudukan yang mulia yaitu sebagai calon Imam, pemimpin spiritual yang akan menjadi penerus Ahlul Bait dalam berhidmat untuk risalah Allah SWT yang dipercayakan kepada kakeknya Muhammad saww. Beliau dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Hamidah, seorang wanita berkebangsaan Andalusia (Spanyol). Sejak masa kecilnya beliau telah menunjukkan sifat kepandaiannya. Pada suatu saat Abu Hanifah datang ke kediaman Imam Ja’far As-Shadiq untuk menanyakan suatu masalah. Pada waktu itu Imam Ja’far As-Shadiq a.s. sedang istirahat lalu Abu Hanifah bertanya kepada anaknya, Musa Al-Kadzim yang pada waktu itu berumur 5 tahun. Setelah mengucapkan salam beliau bertanya:

Bagaimana pendapat Anda tentang perbuatan-perbuatan seorang manusia? Apakah dia melakukan sendiri atau Allah yang mejadikan dia berbuat seperti itu? “Wahai Abu Hanifah! Imam berusia 5 tahun tersebut menjawab dengan gaya seperti para leluhurnya,: “perbuatan-perbuatan seorang manusia dilahirkan atas tiga kemungkinan.

Pertama, Allah sendiri yang melakukan sementara manusia benar-benar takberdaya. Kedua, Allah dan manusia sama-sama berperan atas perbuatan-perbuatan tersebut. Ketiga, manusia sendiri yang melakukannya. Maka, jika asumsi pertama yang benar dengan jelas membuktikan ketidakadilan Allah yang menghukum makhIuk-Nya atas dosa-dosa yang mereka tidak lakukan. Dan jika kondisi yang kedua diterima, maka Allahpun tidak adil kalau Dia menghukum manusia atas kesalahan-kesalahan yang di dalamnya Allah sendiri bertindak sebagai sekutu. Tinggal alternatif yang ketiga, yakni bahwa manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka sendiri”. Mengenai situasi politik di zaman beliau hampir sama dengan zaman sebelumnya. Beliau hidup dalam zaman yang paling kritis di bawah raja-raja zalim dari Bani Abbas. Beliau hidup di zaman Al-Manshur, Al-Mahdi, Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid. Di masa Imam Musa masih berusia 5 tahun. Telah terjadi sebuah peristiwa besar yaitu runtuhnya Dinasti Umayyah dan bangkitnya Dinasti Abbasyiah. Bani Abbasiyah juga tidak kalah dalam perbuatan jahatnya. Kedudukan jadi rebutan di saat itu, sementara istana dipenuhi dengan gundik-gundik dan harta. Tari-tarian serta lagu dan syair menjadi hiasan istana Bani Abbasyiah, kejahatan mereka merajalela dan dekadensi moral hampir merata dimana-mana. Nasib keluarga Imam Musa a.s. (Al-Alawiyin) teraniaya di zaman ini.

Di zaman Al-Manshur mereka dipenjarakan tanpa diberi makan, sebagian lagi diusir dari rumah-rumahnya dan yang lain dibunuh. Penguburan hidup-hidup bukan merupakan pemandangan yang baru lagi di zaman ini. Kebiadaban Al-Manshur tidak berlangsung lama pada tanggal 3 Dzulhijjah158 H, dia mati lalu digantikan oleh anaknya Al-Mahdi. Al-Mahdi memerintah sejak 3 Dzulhijjah 158-22 Muharam 169. Di masa pemerintahannya, Imam Musa pernah dipenjarakan di Baghdad yang kemudian dibebaskan lagi. Walau penekanan dan kejahatan tidak dapat dielakkan lagi, namun penderilaan Ahlul Bait tidaklah separah di zaman Al-Manshur. Setelah beberapa tahun, Al-Mahdi juga meninggal dunia dan sejak 22 Muharram 169 H, anaknya, Al-Hadi, menggantikan posisi ayahnya sebagai raja Bani Abbas. Dia terkenal kejam dan bengis sekali. Pada masa pemerintahan-nya terjadi sebuah pemberontakan yang bernama “Fakh”, yang dipimpin Al-Husein bin Ali bin Al-Hasan bin Al-Husein bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan Fakh yang dipimpin oleh Husein bin Ali sama seperti kejadian “Karbala”. Keluarga Bani Hasyim disertai beberapa pengikutnya yang kescluruhannya berjumlah 200 orang dipaksa menghadapi musuh yang berjumlah beberapa kali lipat. Peperangan itu tidak berlangsung lama pasukan Bani Hasyim yang dipimpin Al-Husein bin Alibin Hasan akhirnya kalah dan porak poranda, kemudian mereka semua dipenggal dan anggota tubuhnya dipisah-pisah. Tidak cukup sampai di sini rumah-rumah mereka dibakar dan pasukan al-Hadi kemudian merampas harta dari keluarga para syuhada’ yang syahid dalam membela kebenaran. Pemerintahan al-Hadi hanya berlangsung 1 tahun dan pada tahun 170 H, Harun Al-Rasyid naik tahta dan menjadi penguasa dari Bani Abbas.

Kebijaksanaan politik Harun al-Rasyid tidak berbeda dengan zaman al-Hadi. Dia tidak segan-segan membunuh puluhan orang hanya karena adanya suatu fitnahan. Sehingga dia diberi julukan “pedangnya lebih cepat dan pembicaraannya”. Kami akan memberi sebuah contoh dan kejahatannya, yaitu di suatu waktu dia memanggil Humaid bin Qahtbabah dan menanyainya tentang ketaatannya kepada Amirul Mukminin. Humaid menyatakan kesiapannya melaksanakan segala yang diperintahkan kepadanya. Ketika Harun Al-Rasyid merasa yakin akan loyalitasnya terhadap istana Abbasiyah dan kesanggupannya untuk melaksanakan perintah, maka al-Rasyid menyuruh seseorang khadam (pembantu) mengambilkan sebilah pedang, lalu menyuruh Humaid pergi ke sebuah rumah yang terkunci yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah sumur. Di rumah itu terdapat tiga kamar yang seluruhnya terkunci. Ketika khadam tersebut mengantarkannya masuk ke rumah itu, dia membuka salah satu pintu kamar yang terkunci itu dan ternyata di dalamnya terdapat dua puluh orang alawiyin dan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saww. Mereka terdiri dari anak-anak remaja dan orang-orang tua dengan kaki dan tangan terikat rantai. Sang khadam menyuruh Humaid untuk membunuh orang-orang itu dan memasukkan jasad mereka ke dalam sumur. Humaid pun melaksanakan perintah tersebut dengan baik. Kemudian pintu kedua dibuka dan di situ ditemukan pula tawanan sejumlah itu. Kembali khadam itu menyuruh Humaid membunuh mereka dan memasukkan jasad-jasad mereka ke dalam sumur, dan Humaid pun melaksanakan perintah tersebut. Pintu ketiga dibuka pula dan di situ terdapat sejumlah itu. Lagi-lagi khadam itu menyuruh melakukan hal sama, dan Humaid pun menaatinya.

Kisah memilukan ini sebenarnya tertutup rapat-rapat dalam laci para pelakunya. Namun Humaid bin Qahthabah membukanya ketika dia merasa bahwa dirinya telah melakukan kejahatan besar telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan sehingga pesimis untuk mendapat rahmat Allah SWT. Dalam situasi yang mencekik seperti inilah imam hidup dan berdakwah kepada rakyat di sekitarnya
Melihat pengaruh besar beliau di tengah-tengah pendukungnya, Harun al-Rasyid merasa cemas dan kemudian memenjarakan beliau tanpa alasan dan bukti apapun. Di dalam penjara inilah waktunya dihabiskan untuk beribadah dan berdakwah di sana. Suatu ketika Harun al-Rasyid memerintah pengawalnya untuk memasukkan jariah yang cantik ke dalam sel Imam, guna merayu dan menjatuhkan martabatnya. Selang beberapa waktu ternyata Jariah yang cantik itu telah sujud bersama imam serta diriwayatkan bahwa hingga akhir hayatnya jariah tersebut menjadi wanita yang shalehah. Segara cara telah ditempuh, namun imam tetap pada posisinya yang mulia.

Akhirnya, Harun Al-Rasyid tidak punya pilihan lain kecuali membunuhnya. Sanadi bin Sahik yang terkenal bengis dan ingin mendapatkan kedudukan di sisi penguasa Bani Abbas segera menawarkan diri untuk menjadi pelaksana rencana pembunuhan tersebut. Dia kemudian meletakkan racun yang mematikan dalam makanan Imam Musa Al-Kazim. Tak pelak lagi, racun tersebut menjalar ke seluruh tubuh imam, dan imam pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Jenazahnya dibiarkan tergeletak dipenjara selama tiga hari yang kemudian dibuang di jembatan al-Karkh, di kota Baghdad. Mendengar berita tentang jenazah imam yang diletakkan di jembatan dan dijadikan bahan olokan oleh pengawal Sanadi bin Sahik, Sulaiman bin Ja’far Al-Manshur kemudian mengambil jenazah tersebut lalu memandikan, mengkafaninya dan melumuri wewangian serta menshalati dan menguburkannya.

Belum pernah ada di Baghdad seseorang yang dikubur yang di hadiri oleh lautan manusia seperti halnya ketika penguburan imam di pemakaman Quraiys. Bintang Ahlu Bait telah pergi untuk selamanya. Kota Baghdad seakan gelap dan gulita, sementara Mûsa bin Ja’far telah pergi dalam keadaan mulia dan terpuji.

Salam sejahtera untukmu di saat kau dilahirkan dan salam untukmu di saat kau dalam kegelapan penjara serta salam sejahtera bagimu saat kau dibangkitkan kelak sebagai orang yang syahid.

Tiada ulasan: