Selasa, 15 April 2014

Imam Ali Zainal Abidin as

Imam Ali Zainal Abidin as
Nama : Ali
Gelar : Zainal Abidin, As-Sajjad
Julukan : Abu Muhammad
Ayah : Husein bin Ali bin Abi Thalib
Ibu : Syahar Banu
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H.
Hari/Tgl Wafat : 25 Muharram 95 H.
Umur : 57 Tahun
Sebab Kematian : Diracun Hisyam bin Abdul Malik, di Zaman al-Walid
Makam : Baqi’ Madinah
Jumlah Anak : 15 orang; 11 Laki-Laki dan 4 Perempuan
Anak Laki-laki : Muhammad Al-Baqir, Abdullah, Hasan, Husein, Zaid, ‘Amr Husein Al-Asghor, Abdurrahman, Sulaiman, Ali, Muhammad al-Asghor
Anak perempuan : Hadijah, Fatimah, Aliyah, Ummu Kaltsum

Riwayat hidup

Setelah kejadian “karbala”, Ali Zainal Abidin a.s. menjadi pengganti al-Husein sebagai pemimpin umat dan sebagai penerima wahiat Rasul yang ke-empat. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib memegang kendali pemerintahan, beliau menikahkan al-Husein dengan seorang pultri Yazdarij, anak Syahriar, anak kisra, raja terakhir kekaisaran Persia yang bernama Syahar Banu. Dari perkawinan yang mulia inilah Imam Ali Zainal Abidin a.s. dilahirkan.

Dua tahun pertama di masa kecilnya, beliau berada dipangkuan kakeknya, Ali bin Abi Thalib. Dan setelah kakeknya berpulang ke rahmatullah beliau diasuh pamannya al-Hasan, selama delapan tahun. Beliau mendapat perlakuan yang sangat istimewa dari pamannya.

Sejak masa kecilnya beliau telah menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji. Keutamaan budi, ilmu dan ketaqwaan telah menyatu dalam dirinya. al-Zuhri berkata: “Aku tidak menjumpai seorangpun dari Ahlul Bait nabi saww yang lebih utama dari Ali bin Husein.

Beliau dijuluki as-sajjad, karena banyaknya bersujud. Sedang gelar Zainal Abidin (hiasannya orang-orang ibadah) karena beliau selalu beribadah kepada Allah SWT. Bila akan shalat wajahnya pucat, badannya gemetar. Ketika ditanya: Mengapa demikian? Jawabannya: “Kamu tidak mengetahui di hadapan siapa aku berdiri shalat dan kepada siapa aku bermunajat”.

Setelah kesyahidan al-Husein beserta saudara-saudaranya, beliau sering kali menangis. Tangisannya itu bukanlah semata-mata hanya karena kematian keluarganya, namun karena perbuatan umat Muhammad saww yang durjana dan aniaya, yang hanya akan menyebabkan kesengsaraan mereka di dunia dan di akhirat. Bukankah Rasulullah saww tidak meminta upah apapun kecuali agar umatnya mencintai keluarganya. Sebagaimana firman Allah (as-Syura 23). “Dan bukti kecintaan kita kepada keluarganya adalah dengan mengikuti mereka.”

Di saat keluarganya telah dibantai, sementara penguasa setempat sangat memusuhinya, misalnya di zaman Yazid bin Muawiyah beliau dirantai dan dipermalukan di depan umum, di zaman Abdul Malik raja dari Bani Umayyah beliau dirantai lagi dan dibawa dan Damaskus ke Madinah lalu kembali lagi ke Madinah, Akhirnya beliau banyak menyendiri serta selalu bermunajat kepada khaliqnya.

Amalannya dilakukan secara tersembunyi. Setelah wafat, barulah orang-orang mengetahui amalannya. Sebagaimana datuknya, Ali bin Abi Thalib, beliau memikul tepung dan roti dipunggungnya guna dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga fakir miskin di Madinah.

Dalam pergaulannya, beliau sangat ramah bukan hanya kepada kawannya saja melainkan juga kepada lawannya. Dalam bidang ilmu serta pengajaran, meskipun yang berkuasa saat itu al-Hajjaj bin Yusuf As-Tsaqofi seorang tiran yang kejam yang tidak segan-segan membunuh siapapun yang membela keluarga Rasulullah saww, beliau masih sempat memberikan pengajaran dan menasehati para penguasa.

Namun, apapun yang dilakukannya, keluarga Umayyah tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang. Dan pada tanggal 25 Muharram 95 Hijriah, ketika beliau berada di Madinah, Al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan meracuni Imam Ali Zainal Abidin a.s.

Keagungan beliau sulit digambarkan dan kata-katanya bak mutiara yang berkilauan. Munajat beliau terkumpul dalam sebuah kitab yang bernama “Shahifah As-Sajjadiah”.


Tiada ulasan: