Halaman

Jumaat, 9 Mei 2014

TERDAPAT TIGA RATUS AYAT AL-QURAN YANG TURUN BERKENAAN DENGAN KEUTAMAAN DAN KETINGGIAN PRIBADI IMAM ALI

Dipost oleh: Ansary Razi
May 7 at 9:42am

TERDAPAT TIGA RATUS AYAT AL-QURAN YANG TURUN BERKENAAN DENGAN KEUTAMAAN DAN KETINGGIAN PRIBADI IMAM ALI
--------
Imam Ali dalam Kaca-mata Al-Quran
Banyak sekali buku literatur Islam yang menegaskan bahwa terdapat tiga ratus ayat Al-Quran yang turun berkenaan dengan keutamaan dan ketinggian pribadi Imam Ali a.s. Perlu ditegaskan di sini bahwa jumlah ayat yang sangat banyak seperti itu tidak pernah turun berkenaan dengan seorang tokoh Islam mana pun [setelah Nabi Muhammad Saw]
Syiah berpendapat, tidak sedikit ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan keutamaan Amirul Mukminin Ali a.s. dan memperkenalkannya sebagai pribadi islami yang tinggi dan mulia setelah Rasulullah Saw. Ini menunjukkan bahwa ia mendapat perhatian yang tinggi disisi Allah Swt. Banyak sekali buku literatur Islam yang menegaskan bahwa terdapat tiga ratus ayat Al-Quran yang turun berkenaan dengan keutamaan dan ketinggian pribadi Imam Ali a.s.[16] Perlu ditegaskan di sini bahwa jumlah ayat yang sangat banyak seperti itu tidak pernah turun berkenaan dengan seorang tokoh Islam mana pun. Ayat-ayat tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kateg ori berikut ini:
1. Kategori pertama: ayat yang turun khusus berkenaan dengan Imam Ali secara pribadi.
2. Kategori kedua: ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali a.s. dan keluarganya.
3. Kategori ketiga: ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali dan para sahabat pilihan Rasulullah Saw.
4. Kategori keempat: ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali a.s. dan mengecam orang-orang yang memusuhinya.
Berikut ini adalah sebagian dari ayat-ayat ter-sebut.
Kategori Ayat Pertama Ayat-ayat yang turun menjelaskan keutamaan, ketinggian, dan keagungan pribadi Imam Ali a.s. adalah sebagai berikut:
1. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan. Dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (QS. Al-Ra‘d [13]: 7)
Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Ibn Abbâs. Ibn Abbâs berkata: “Ketika ayat ini turun, Nabi Saw. meletakkan tangannya di atas dadanya seraya bersabda, ‘Aku adalah pemberi peringatan. Dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.’ Lalu dia memegang pundak Ali a.s. sembari bersabda, ‘Engkau adalah pemberi petunjuk itu. Dengan perantara tanganmu, banyak orang yang akan mendapat petunjuk setelahku nanti.’”[17]
2. Allah Swt. berfirman: “… dan (peringatan itu) diperhatikan oleh telinga yang mendengar.” (QS. Al-Hâqqah [69]: 12)
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Ali a.s. berkata: “Rasulullah Saw. berkata kepadaku, ‘Hai Ali, aku memohon kepada Tuhanku agar menjadikan telingamu yang menerima peringatan.’ Lantaran itu, aku tidak pernah lupa apa saja yang pernah kudengar dari Ras ulullah Saw.”[18]
3. Allah Swt. berfirman: “Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, baik secara sembunyi- sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut bagi mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.” (QS. Al- Baqarah [2]: 274)
Pada saat itu, Imam Ali a.s. hanya memiliki empat dirham. Satu dirham ia infakkan di malam hari, satu dirham ia infakkan di siang hari, satu dirham ia infakkan secara rahasia, dan satu dirham sisanya ia infakkan secara terang-terangan. Rasulullah Saw. bertanya kepadanya: “Apakah yang menyebabkan kamu berbuat demikian?” Ali a.s. menjawab: “Aku ingin memperoleh apa yang dijanjikan Allah kepadaku.” Kemudian, ayat tersebut turun.[19]
4. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, mereka itu adalah sebaik-sebaik makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 7)
Ibn ‘Asâkir meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Jâbir ibn Abdillah. Jâbir ibn Abdillah berkata: “Ketika kami bersama Nabi Saw., tiba-tiba Ali a.s. datang. Seketika itu, Rasulullah Saw. bersabda, ‘Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya Ali a.s. dan Syiah (para pengikut)-nya adalah orang-orang yang beruntung pada Hari Kiamat.’ Kemudian, turunlah ayat itu. Sejak saat itu, setiap kali Ali a.s. datang, para sahabat Nabi Saw. mengatakan: ‘Telah datang sebaik-baik makhluk.’”[20]
5. Allah Swt. berfirman: “… maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (Ahl Adz- Dzikr) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al- Nahl [16]: 43)
Ath-Thabarî meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad dari Jâbir Al-Ju‘fî. Jâbir Al-Ju‘fî berkata: “Ketika ayat ini turun, Ali a.s. berkata: ‘Kami adalah Ahl Adz-Dzikr.’”[21]
6. Allah Swt. berfirman: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu. Jika hal itu tidak engkau lakukan, maka berarti engkau tidak menyampaikan risalahmu. Se- sungguhnya Allah menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 67)
Ayat ini turun kepada Nabi Saw. ketika sampai di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang dari haji Wadâ’. Nabi Saw. diperintahkan oleh Allah untuk menga ngkat Ali a.s. sebagai khalifah sepeninggalnya. Beliau melaksanakan perintah tersebut. Beliau melantik Ali a.s. sebagai khalifah dan pemimpin bagi umat sepeninggalnya. Di hadapan khalayak banyak, Nabi Saw. mengumandangkan sabdanya yang masyhur, “Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali a.s. adalah pemimpinnya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya, belalah orang yang membelanya, dan hinak anlah orang yang menghinakannya.” Setelah itu, Umar bangkit dan berkata kepada Ali a.s.: “Selamat, hai Putra Abu Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap mukmin dan mukminah.”[22]
7. Allah Swt. berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapi nikmat-Ku atasmu dan Aku pun rela Islam sebagai agamamu.” (QS. Al- Mâ’idah [5]: 3)
Ayat yang mulia ini turun pada tanggal 18 Dzul- hijjah setelah Nabi Saw. mengangkat Ali a.s. sebagai khal ifah sepeninggalnya.[23] Setelah ayat tersebut turun, Nabi Saw. bersabda, “Allah Mahabesar lantaran pe- nyempurnaan agama, pelengkapan nikmat, dan keridhaan Tuhan dengan risalahku dan wilâyah Ali ibn Abu Thalib a.s.”[24]
8. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, seraya tunduk kepada Allah.” (QS. Al- Mâ’idah [5]: 55) Seorang sahabat Nabi terkemuka, Abu Dzar berkata: “Aku mengerjakan shalat Zuhur bersama Rasu- lullah Saw. Tiba-tiba datang seorang pengemis ke masjid, dan tak seorang pun yang memberikan sedekah kepadanya. Pengemis tersebut mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Ya Allah, saksikanlah bahwa aku meminta di masjid Rasul Saw., tetapi tak seorang pun yang memberikan sesuatu kepadaku.’ Pada saat itu, Ali a.s. sedang mengerjakan rukuk. Kemudian, dia memberikan isyarat kepadanya dengan kelingking kanan yang sedang memakai cincin. Pengemis itu datang menghampirinya dan segera mengambil cincin tersebut di hadapan Nabi Saw. Lalu Nabi Saw. berdoa: ‘Ya Allah, sesungguhnya saudaraku, Musa a.s. memohon kepadamu sembari berkata: ‘Wahai Tuhanku, lapangkanlah untukku hatiku, mudahkan lah urusanku, dan bukalah ikatan lisanku agar me reka dapat memfahami ucapanku. Dan jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku; yaitu saudaraku, Harun. Kukuhkanlah aku dengannya dan sertakanlah dia dalam urusanku.’” (QS. Thâ’ Hâ’ [20]: 25- 32) “Ketika itu engkau turunkan ayat: ‘Kami akan kukuhkan kekuatanmu dengan saudaramu dan Kami jadikan engkau berdua sebagai pemimpin,’ (QS. Al- Qas hash [28]: 35).
‘Ya Allah, aku ini adalah Muhammad Nabi dan pilihan-Mu. Maka lapangkanlah hatiku, mudahkanlah urusanku, dan jadikanlah unt ukku seorang wazîr dari keluargaku, yaitu Ali. Dan kukuhkanlah punggungku dengannya.’” Abu Dzar melanjutkan: “Demi Allah, Jibril turun kepadanya sebelum sempat menyelesaikan doanya itu. Jibril berkata, ‘Hai Muhammad, bacalah: Sesungguhnya walimu adalah Allah, Rasul- Nya dan ….’”[25] Seorang penyair tersohor, Hassân ibn Tsâbit, telah menyusun sebuah bait syair sehubungan dengan turunnya ayat tersebut. Ia berkata:
“Siapakah gerangan yang ketika rukuk menyedekahkan cincin, sementara ia merahasiakannya untuk dirinya sendiri.”[26]
Arti kata “wali”
Kata-kata Wali, Wilayat, Wala, Maula, dan Awla, berasal dari akar kata yang sama, yaitu Wala. Kata ini sangat banyak digunakan oleh Al-Quran; 124 dengan kata benda, dan sekitar 112 tempat dipakai dalam ben- tuk kata kerja. Sebagaimana yang termuat dalam kitab Mufradat Al-Quran, karya Ragib Isfahani, dan kitab Maqâyis Al-Lughah karya Ibn Fars, arti asli dari kata ini adalah kedekatan dua benda, yang seakan-akan tak berjarak sama sekali. Maksudnya jika dua benda sudah sangat berdekatan, sangatlah mustahil jika dibayangkan ada benda ketiga. Ketika kita katakan Waliya Zaid Amr, maka itu berarti Zaid dekat di sisi Amr. Kata ini juga bermakna teman, penolong, dan penanggung jawab. Dengan kata lain, pada semua arti tadi terdapat semacam kedekatan, hubungan, atau interaksi. Dan untuk menentukan arti yang dimaksud, dibutuhkan tanda-tanda dan kecermatan untuk memahami konteks kalimatnya. Dengan memperhatikan poin-poin yang kita sebutkan tadi, kita dapat memfahami bahwa maksud dari ayat di atas adalah bahwa Allah, Rasulullah, dan Ali a.s. sajalah—perhatikan kata innama yang berarti “hanyalah”—yang memiliki kedekatan istimewa dengan kaum Muslim. Telah jelas arti dekat di sini berkonotasi spiritual/ metafi sik bukan material. Konsekuensi kedekatan ini adalah wali (pemimpin) dapat mengganti semua hal yang dapat digantikan dari maula ‘alaih (yang dipimpin). Dengan pengertian semacam ini wilayah diartikan penanggung jawab dan pemilik upaya (ikhtiar).[27]
Dari satu sisi telah jelas bahwa Tuhan adalah wali sel uruh hamba dalam urusan duniawi dan akhirat me- reka. Dan Dia adalah wali kaum mukmin dalam urusan agama dan pencapaian kebahagiaan dan kesempurnaan mereka. Rasul dengan izin Tuhan merupakan wali bagi kaum mukmin. Sejalan dengan itu, wilayah Imam Ali a.s. yang dijelaskan dalam ayat ini juga bermaksud sama seperti arti di atas, yang konsekuensinya beliau mampu dan berhak mengelola masalah dan urusan kaum Muslim, dan beliau mendapatkan prioritas dalam jiwa, harta, kehormatan, dan agama.[28]
Ayat ini menempatkan wilâyah “kepemimpinan” universal (Al-Wilâyah Al-‘Âmmah) hanya untuk Allah Swt., Rasul- Nya yang mulia, dan Imam Ali a.s. Ayat ini menggunakan bentuk jamak dalam rangka meng agungkan kemuliaan Imam Ali a.s. dan menghormati kedudukannya. Di samping itu, ayat ini berbentuk ka- limat afi rmatif dan menggunakan kata pembatas (hashr) ‘innamâ’ (yang berarti hanya). Dengan demi kian, ayat ini telah mengukuhkan wilâyah tersebut untuk Imam Ali a.s. Sedangkan jika wali diartikan se bagai teman, akan muncul konsekuensi pelarangan pers ahabatan dan pertemanan dengan selain Allah, Ras ul, dan Ali a.s. bagi kaum Muslim. Padahal, kenyataannya kaum Muslim dianjurkan untuk menjalin persahabatan dengan yang lain.
Kategori Ayat Kedua
Al-Quran Al-Karim dihiasi dengan banyak ayat yang turun berkenaan dengan Ahlul Bait a.s. Ayat-ayat ini secara otomatis juga ditujukan kepada junjungan mereka, Amirul Mukminin Ali a.s. Berikut ini sebagian dari ayat-ayat tersebut: Allah Swt. berfirman: “Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu upah apa pun atas dakwahku itu selain mencintai Al-Qurbâ. Dan barang siapa mengerjakan kebajikan akan Kami tambahkan kepadanya kebajikan itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.’” (QS. Al-Syûrâ [42]: 23) Mayoritas ahli tafsir dan perawi hadis berpendapat bahwa maksud dari “Al-Qurbâ” yang telah diwajibkan oleh Allah Swt. kepada segenap hambaNya untuk mencintai mereka adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain a.s. Sedangkan maksud dari “iqtirâf al-hasa- nah” (mengerjakan kebaikan) dalam ayat ini ialah mencintai dan menjadikan mereka sebagai pemimpin. Berikut ini beberapa riwayat yang menegaskan hal ini. Dalam sebuah riwayat, Ibn Abbâs berkata: “Ketika ayat ini turun, para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah, siapakah sanak kerabatmu yang kami telah diwajibkan untuk mencintai mereka?’ Rasulullah Saw. menjawab, ‘Mereka adalah Ali, Fathimah, dan kedua putranya.’”[29]
Dalam sebuah hadis, Jâbir ibn Abdillah berkata: “Seorang Arab Badui pernah datang menjumpai Nabi Saw. seraya berkata: ‘Jelaskan kepadaku tentang Islam.’ Rasulullah Saw. menjawab, ‘Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad itu adalah hamba dan Rasul- Nya.’ Arab Badui itu segera men impali, ‘Apakah engkau meminta upah dariku?’ Rasul menjawab, “Tidak, selain mencintai Al- Qurbâ’.
Orang Arab Badui itu bertanya lagi, ‘Keluargaku ataukah keluargamu?’ Nabi Saw. menjawab: ‘Tentu keluargaku.’ Kemudian, orang Arab Badui itu berkata lagi: “Jika begitu, aku membaiatmu: barang siapa yang tidak mencintaimu dan tidak juga mencintai keluargamu, maka Allah akan mengutuknya.’ Nabi segera menimpali: ‘Amîn.’”[30]
Allah Swt. berfirman: “Barang siapa menghujatmu tentang hal itu setelah jelas datang kepa danya pengetahuan, maka katakanlah, ‘Mari kami panggil putra-putra kami dan putra-putra kamu, putri-putri kami dan putri-putri kamu, dan diri kami dan diri kamu, kemudian kita bermubâhalah agar kita jadi- kan kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.’” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 61) Para ahli tafsir dan perawi hadis sepakat bahwa ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan Ahlu Bait Nabi Saw. Ayat tersebut menggunakan kata abnâ’ (anak-anak) yang maksudnya adalah Hasan dan Husain a.s.; kedua cucu Nabi yang dirahmati dan kedua imam pemberi hidayah. Dan maksud kata an- nisâ’ (wanita), yaitu Sayidah Az-Zahrâ’ a.s., penghulu seluruh wanita dunia dan akhirat. Adapun pemuka dan junjungan Ahlul Bait, Amirul Mukminin Ali ibn Abu Thalib a.s., diungkapkan dengan kata anfusanâ (diri-diri kami).[31]
Allah Swt. berfirman: “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum menjadi sesuatu yang dapat disebut ….” (QS. Al-Dahr [76]: 1) Mayoritas ahli tafsir dan para perawi hadis ber- pendapat bahwa surat ini diturunkan untuk Ahlu Bait Nabi Saw.32 Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya lah bermaksud menghilangkan segala noda dari kalian, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kalian sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 33) Para ahli tafsir dan perawi hadis sepakat bahwa ayat yang penuh berkah ini turun berkenaan dengan lima orang ahlul-Kisâ’.33 Mereka adalah Rasulullah Saw.; Ali a.s.; Sayyidah Fathimah, buah hatinya yang suci dan penghulu para wanita di dunia dan akhirat yang Allah ridha dengan keridhaannya dan murka dengan kemurkaannya; dan Hasan dan Husain a.s., ke- dua permata hatinya dan penghulu para pemuda ahli surga. Tak seorang pun dari keluarga Rasulullah Saw. yang lain dan tidak pula para pemuka sahabatnya yang ikut serta dalam keutamaan ini. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hadis berikut ini: Pertama, Ummul Mukminin Ummu Salamah berkata: “Ayat ini turun di rumahku. Pada saat itu ada Fathim ah, Hasan, Husain, dan Ali a.s. di rumahku.
Kemudian, Rasulullah Saw. menutupi mereka dengan kisâ’ (kain panjang dan lebar), seraya berdoa: ‘Ya Allah, mereka adalah Ahlu Baitku. Hilangkanlah dari mer eka segala noda dan sucikanlah mereka sesuci- sucinya.’” Ia mengulang-ulang doa tersebut dan Ummu Salamah mendengar dan melihatnya. Lantas dia berkata: “Apakah aku masuk bersama Anda, ya Rasulullah?” Lalu dia mengangkat kisâ’ tersebut untuk aku masuk bersama mereka. Tetapi, beliau kembali menarik kisâ’ itu sembari bersabda, “Sesungguhnya eng- kau berada dalam kebaikan.”[34] Kedua, dalam sebuah riwayat Ibn Abbâs berkata: “Aku menyaksikan Rasulullah Saw. setiap hari mendatangi pintu rumah Ali ibn Abu Thalib a.s. setiap kali masuk waktu shalat selama tujuh bulan berturut-turut. Dia mendatangi pintu rumah itu sebanyak lima kali dalam sehari sembari berkata: ‘Assalamu‘alaikum Warahmatullah Wabarakatuh, hai Ahlul Bait! Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud menghilangkan segala kotoran dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sesuci-sucinya. Mari kita melakukan shalat, semoga Allah merahmati kalian!’”[35] Ketiga, dalam sebuah riwayat Abu Barazah ber- kata: “Aku mengerjakan shalat bersama Rasulullah Saw. selama tujuh bulan. Setiap kali keluar dari rumah, dia mendatangi pintu rumah Fathimah a.s. seraya bersabda, ‘Salam sejahtera atas kalian. Sesungguhnya Allah hanyalah bermaksud menghilangkan segala ko- toran dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sesuci-sucinya.’”36 Sesungguhnya tindakan-tindakan Rasulullah Saw. ini merupakan sebuah pemberitahuan kepada umat dan seruan kepada mereka untuk mengikuti Ahlul Bait a.s. lantaran Ahlul Bait a.s. adalah pembimbing bagi mereka untuk meniti jalan kemajuan di kehidupan du- niawi maupun ukhrawi.
Kategori Ayat Ketiga Terdapat beberapa ayat yang turun berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali a.s. dan juga berkenaan dengan para sahabat Nabi pilihan dan terkemuka. Berikut ini ayat-ayat tersebut: Allah Swt. berfirman: “Dan diatas Al-A‘râf tersebut ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka.” (QS. Al-A‘râf [7]: 46) Ibn Abbâs berkata: “Al-A‘râf adalah sebuah tempat yang tinggi di atas Shirât. Di atas tempat itu terdapat Abbâs, Hamzah, Ali ibn Abu Thalib a.s., dan Ja‘far pemilik dua sayap. Mereka mengenal para pencinta mer eka dengan wajah mereka yang bersinar dan juga mengenal para musuh mereka dengan wajah mereka yang hitam pekat.”[37] Allah Swt. berfirman: “Di antara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah janjinya.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 23) Ali a.s. pernah ditanya tentang ayat ini, sementara dia sedang berada di atas mimbar. Dia berkata: “Ya Allah, aku mohon ampunanmu. Ayat ini turun berkenaan denganku, pamanku Hamzah, dan pamanku ‘Ubaidah ibn Hârist. Adapun ‘Ubaidah, dia telah gugur sebagai syahid di medan Badar, dan Hamzah juga telah gugur di medan Perang Uhud. Sementara aku ma- sih menunggu orang paling celaka yang akan mengucurkan darahku dari sini sampai ke sini (sembari dia men unjuk jenggot dan kepalanya).”[38]
Kategori Ayat Keempat
Berikut ini kami paparkan beberapa ayat yang turun memuji Imam Ali a.s. dan mengecam para mu- suhnya yang senantiasa berusaha untuk menghapus segala keutamaannya.
Allah Swt. berfirman: “Apakah kamu menyama-kan pekerjaan memberi minuman kepada orang- orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masji dil Haram dengan (amal) orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di ja lan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Taubah [9]: 19) Ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali a.s., Abbâs, dan Thalhah ibn Syaibah ketika mereka saling men unjukkan keutamaan masing-masing. Thalhah ber- kata: “Aku adalah pengurus Ka‘bah. Kunci dan urusa n tab irnya berada di tanganku.” Abbâs berkata: “Aku adalah pemberi minum orang- orang yang beri badah haji.” Ali a.s. berkata: “Aku tidak tahu kalian ini berkata apa? Sungguh aku telah mengerjakan shalat menghadap ke arah Kiblat selama enam bulan sebelum ada seorang pun yang mengerjakan shalat, dan akulah orang yang selalu berjihad.” Kemudian, turunlah ayat tersebut.[39] Allah Swt. berfirman: “Maka apakah orang yang telah beriman seperti orang yang fasik? Tentu tidak- lah sama.” (QS. Al-Sajdah [32]: 18) Ayat ini turun memuji Imam Ali a.s. dan mengecam Walîd ibn ‘Uqbah ibn Abi Mu‘îth. Walîd berbangga diri di hadapan Ali a.s. seraya berkata: “Lisanku lebih fasih daripada lisanmu, gigiku lebih tajam daripada gigimu, dan aku juga lebih pandai menulis.” Ali a.s. berkata: “Diamlah. Sesungguhnya engkau adalah orang fasik.” Kemudian turunlah ayat tersebut.[40]
Catatan kaki:
16. Târîkh Baghdad, jil. 6/221; Ash-Shawâ‘iq
Al- Muhriqah, hal. 76; Nûr Al-Abshâr, hal.
76.
17. Tafsir At-Thabarî, jil. 13/72; Kanz
Al-‘Ummâl, jil. 6,/157; Tafsir Al-Haqâ’iq, hal.
42; Musadrak Al- Hâkim, jil. 3/129.
18. Kanz Al-‘Ummâl, jil. 6/108; Asbâb An-
Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 329; Tafsir At-
Thabarî, jil. 4/600; Ad-Durr Al-Mantsûr, jil.
8/267.
19. Usud Al-Ghâbah, jil. 4/25; Ash-Shawâ‘iq
Al- Muhriqah, hal. 78; Asbâb An-Nuzûl,
karya Al- Wâhidî, hal. 64.
20. Ad-Durr Al-Mantsûr, jil. 8/589; Tafsir At-
Thabarî, jil. 30/17; Ash-Shawâ‘iq Al-
Muhriqah, hal. 96.
21. Tafsir At-Thabarî, jil. 8/145.
22. Asbâb An-Nuzûl, hal. 150.
23. Târîkh Baghdad, jil. 8/19; Ad-Durr Al-
Mantsûr, jil. 6/19.
24. Dalâ’il Ash-Shidq, jil. 2/152.
25. Tafsir Ar-Râzî, jil. 12/26; Nûr Al-Abshâr,
hal. 170; Tafsir Ath-Thabarî, jil. 6/186.
26. Ad-Durr Al-Mantsûr, jil. 3/106; Tafsir Al-
Kasysyâf, jil. 1/692; Dzakhâ’ir Al-‘Uqbâ, hal.
102; Majma‘ Az-Zawâ’id, jil. 7/17; Kanz
Al-‘Ummâl, jil. 7/305.
27. Ragib Al-Isfahani dalam Mufradat Al-
Quran, ha- laman 570 mengatakan, “Wilayah
berarti keme- nangan, penanggung jawab
dan pemilik ikhtiar sebuah perbuatan.”
Sebagian berpendapat wilayat dan walayat
memiliki satu arti, yaitu penanggung jawab
dan pemilik ikhtiar. Wali dan maula juga
berarti demikian, hanya terkadang
berkonotasi subjek (ism fa’il) dan terkadang
objek (ism maf’uli). Thabarsi dalam Majma’
al-Bayân setelah ayat 157, Surat Al-Baqarah
mengatakan, “Wali dari kata walâ berarti
berdekatan tanpa ada penghalang,
wali adalah orang yang lebih berhak dan
layak untuk melakukan perbuatan orang lain.
Pemimpin sebuah kaum dapat dipanggil
dengan wali, karena kedekatan, dan secara
langsung, mengurusi, me- nyuruh, dan
melarang berkenaan dengan semua urusan.
Dan kepada majikan dikatakan maula karena
secara langsung mengurusi masalah ham-
ba.” Ibnu Faris juga mengatakan, “Barang
siapa bert anggung jawab atas urusan
seseorang, maka ia akan menjadi wali
baginya.” (Maqâyis al-Lughah, jilid 6, hal.
141).
28. Allamah Sayyid Husain Tehrani, Imam
Syenasi (Mengenal Imam), jilid 5, hal.
199-265; Allamah Sayyid Abdul Husain
Syarafuddin, Al-Murajaat, Dialog 38, Ustad
Muthahhari, Majmue-ye Atsar, jilid 3,
halaman 268-289.
29. Majma‘ Az-Zawâ’id, jil. 7/103; Dzakhâ’ir
Al-‘Uqbâ, hal. 25; Nûr Al-Abshâr, hal. 101;
Ad-Durr Al- Mantsûr, jil. 7/348.
30. Hilyah Al-Awliyâ’, jil. 3/102.
31. Tafsir Ar-Râzî, jil. 2/699; Tafsir Al-
Baidhâwî, hal. 76; Tafsir Al-Kasysyâf, jil.
1/49; Tafsir Rûh Al-Bayân, jil. 1/457; Tafsir
Al-Jalâlain, jil. 1/35; Shahîh Muslim, jil.
2/47; Shahîh At-Turmuzî, jil. 2/166; Sunan
Al-Baihaqî, jil. 7/63; Musnad Ahmad ibn
Hanbal, jil. 1/185; Mashâbîh As-Sunnah,
karya Al-Baghawî, jil. 2/201; Siyar A‘lâm An-
Nubalâ’, jil. 3/193.
32. Tafsir Ar-Râzî, jil. 10/243; Asbâb An-
Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 133, Rûh Al-
Bayân, jil. 6/546; Yanâbî’ Al-Mawaddah, jil.
1/93; Ar-Riyâdh An- Nâdhirah, jil. 2/227;
Imtâ‘ Al-Asmâ‘, hal. 502.
33. Tafsir Ar-Râzî, jil. 6/783; Shahîh Muslim,
jil. 2/331; Al-Khashâ’ish Al-Kubrâ, jil. 2/264;
Ar- Riyâdh An-Nâdhirah, jil. 2/188; Tafsir
Ibn Jarîr, jil. 22/5; Musnad Ahmad ibn
Hanbal, jil. 4/107; Sunan Al-Baihaqî, jil.
2/150; Musykil Al-Atsar, jil. 1/334;
Khashâ’ish An-Nisa’î, hal. 33.
34. Mustadrak Al-Hâkim, jil. 2/416; Usud Al-
Ghâbah, jil. 5/521.
35. Ad-Durr Al-Mantsur, jil. 5/199.
36. Dzakhâ’ir Al-‘Uqbâ, hal. 24.
37. Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 101.
38. Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 80; Nûr
Al- Abshar, hal. 80.
39. Tafsir Ath-Thabarî, jil. 10/68; Tafsir Ar-
Râzî, jil. 16/11; Ad-Durrul Mantsur, jil.
4/146; Asbâb An- Nuzûl, karya Al-Wâhidî,
hal. 182.
40. Tafsir Ath-Thabarî, jil. 21/68; Asbâb An-
Nuzûl, hal. 263; Târîkh Bagdad, jil. 13/321;
Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, jil. 2/206.
16. Târîkh Baghdad, jil. 6/221; Ash-Shawâ‘iq
Al- Muhriqah, hal. 76; Nûr Al-Abshâr, hal.
76.
17. Tafsir At-Thabarî, jil. 13/72; Kanz
Al-‘Ummâl, jil. 6,/157; Tafsir Al-Haqâ’iq, hal.
42; Musadrak Al- Hâkim, jil. 3/129.
18. Kanz Al-‘Ummâl, jil. 6/108; Asbâb An-
Nuzûl, karya Al-Wâhidî, hal. 329; Tafsir At-
Thabarî, jil. 4/600; Ad-Durr Al-Mantsûr, jil.
8/267.
19. Usud Al-Ghâbah, jil. 4/25; Ash-Shawâ‘iq
Al- Muhriqah, hal. 78; Asbâb An-Nuzûl,
karya Al- Wâhidî, hal. 64.
20. Ad-Durr Al-Mantsûr, jil. 8/589; Tafsir At-
Thabarî, jil. 30/17; Ash-Shawâ‘iq Al-
Muhriqah, hal. 96.
21. Tafsir At-Thabarî, jil. 8/145.
22. Asbâb An-Nuzûl, hal. 150.
23. Târîkh Baghdad, jil. 8/19; Ad-Durr Al-
Mantsûr, jil. 6/19.
24. Dalâ’il Ash-Shidq, jil. 2/152.
25. Tafsir Ar-Râzî, jil. 12/26; Nûr Al-Abshâr,
hal. 170; Tafsir Ath-Thabarî, jil. 6/186.
26. Ad-Durr Al-Mantsûr, jil. 3/106; Tafsir Al-
Kasysyâf, jil. 1/692; Dzakhâ’ir Al-‘Uqbâ, hal.
102; Majma‘ Az-Zawâ’id, jil. 7/17; Kanz
Al-‘Ummâl, jil. 7/305.
27. Ragib Al-Isfahani dalam Mufradat Al-
Quran, ha- laman 570 mengatakan, “Wilayah
berarti keme- nangan, penanggung jawab
dan pemilik ikhtiar sebuah perbuatan.”
Sebagian berpendapat wilayat dan walayat
memiliki satu arti, yaitu penanggung jawab
dan pemilik ikhtiar. Wali dan maula juga
berarti demikian, hanya terkadang
berkonotasi subjek (ism fa’il) dan terkadang
objek (ism maf’uli). Thabarsi dalam Majma’
al-Bayân setelah ayat 157, Surat Al-Baqarah
mengatakan, “Wali dari kata walâ berarti
berdekatan tanpa ada penghalang,
wali adalah orang yang lebih berhak dan
layak untuk melakukan perbuatan orang lain.
Pemimpin sebuah kaum dapat dipanggil
dengan wali, karena kedekatan, dan secara
langsung, mengurusi, me- nyuruh, dan
melarang berkenaan dengan semua urusan.
Dan kepada majikan dikatakan maula karena
secara langsung mengurusi masalah ham-
ba.” Ibnu Faris juga mengatakan, “Barang
siapa bert anggung jawab atas urusan
seseorang, maka ia akan menjadi wali
baginya.” (Maqâyis al-Lughah, jilid 6, hal.
141).
28. Allamah Sayyid Husain Tehrani, Imam
Syenasi (Mengenal Imam), jilid 5, hal.
199-265; Allamah Sayyid Abdul Husain
Syarafuddin, Al-Murajaat, Dialog 38, Ustad
Muthahhari, Majmue-ye Atsar, jilid 3,
halaman 268-289.
29. Majma‘ Az-Zawâ’id, jil. 7/103; Dzakhâ’ir
Al-‘Uqbâ, hal. 25; Nûr Al-Abshâr, hal. 101;
Ad-Durr Al- Mantsûr, jil. 7/348.
30. Hilyah Al-Awliyâ’, jil. 3/102.
31. Tafsir Ar-Râzî, jil. 2/699; Tafsir Al-
Baidhâwî, hal. 76; Tafsir Al-Kasysyâf, jil.
1/49; Tafsir Rûh Al-Bayân, jil. 1/457; Tafsir
Al-Jalâlain, jil. 1/35; Shahîh Muslim, jil.
2/47; Shahîh At-Turmuzî, jil. 2/166; Sunan
Al-Baihaqî, jil. 7/63; Musnad Ahmad ibn
Hanbal, jil. 1/185; Mashâbîh As-Sunnah,
karya Al-Baghawî


Tiada ulasan:

Catat Ulasan